tv online tv streaming

Jumat, 27 Juli 2018

Saat sholat gerhana matahari/bulan

 Menurut perhitungan ahli falak atau astronomi, Gerhana Matahari Tolal (GMT) tinggal sehari lagi. Selain menyaksikan salah satu tanda kekuasaan Allah ta’ala yang langka ini, Umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan shalat. Akan tetapi, sampai saat ini masih ada sebagian kaum muslimin yang masih bertanya-tanya hukum shalat gerhana matahari itu sendiri, yaitu apabila gerhana tidak terlihat karena mendung atau hal lainya, apakah masih diperintahkan shalat?

Para ulama sepakat bahwa shalat khusuf tidak dilaksanakan kecuali ketika melihat langsung fenomena gerhana matahari atau bulan. Baik itu gerhana total maupun gerhana sebagian. Dalilnya adalah sabda Nabi saw:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

“Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafadh lain disebutkan:

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

“Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)

Penentuan shalat  gerhana tidak boleh dilaksanakan atas dasar petunjuk ahli falak semata.  Imam An-Nawawi menjelaskan, “Jika gerhana matahari tertutup dengan awan mendung, padahal dapat diperkirakan terjadi gerhana maka tetap tidak boleh melaksanakan shalat sampai benar-benar yakin (dapat dilihat lansung dengan mata).” Lalu beliau menukilkan pernyataan Ad-Darimi dan ulama lainnya, dimana mereka berkata, “Shalat gerhana tidak boleh bersandar atas dasar perhitungan ahli falak.”  (An-Nawawi, Raudatul Thalibin, 1/596)



Pernyataan serupa juga dinukilkan oleh Ibnu Muflih Al-Hanbali dalam Kitab Al-Furu’ ketika menulis permasalahan shalat gerhana. (Al-furu’, 27/109)

Pendapat ini juga dikuatkan oleh ulama Mazhab Maliki, yaitu apabila gerhananya tidak jelas atau terlihat hanya sedikit saja dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya ahli falak/astronomi, maka tidak disunnahkan untuk menlaksanakan shalat. Muhammad Ulaisy Al-Maliki  berkata, “Disunnahkan melaksanakkan shalat khusuf ketika mengalami gerhana, baik secara total maupun sebagiannya saja, selama gerhananya tidak terlalu kecil sehingga tidak ada yang dapat melihatnya kecuali ahli astronomi/hisab saja.

Permasalahan ini juga pernah ditanyakan kepada Syaikh Utsaimin, yaitu apa hukum shalat gerhana ketika gerhana tertutup dengan awan mendung, sementara surat kabar sudah mengumumkan akan terjadi gerhana. Lalu beliau menjawab;

لا یجوز أن یصلي اعتماداً على ما ینشر في الجرائد، أو یذكر بعض الفلكیین، إذا كانت السماء غیماً ولم یر الكسوف؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الحكم بالرؤیة، فقال عليه الصلاة والسلام: «فإذا رأیتموهما فافزعوا إلى الصلاة»، ومن الجائز أن الله تعالى یخفي هذا الكسوف عن قوم دون آخرین لحكمة یریدها

“shalat gerhana tidak boleh bersandar kepada berita yang tersebar di koran-koran atau perhitungan para astronom. Jika langit mendung maka tidak ada shalat gerhana. Karena Nabi saw mengaitkan hukum dengan penglihatan mata. Nabi saw bersabda, “Jika kalian melihat terjadinya gerhana, maka segeralah shalat.” Suatu hal yang mungkin terjadi, Allah menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu daerah, lalu menampakkannya pada daerah lain karena suatu hikmah yang Ia inginkan.”


Sehingga shalat gerhana tidak disunnakan kecuali ketika melihat langsung peristiwa gerhana matahari atau bulan. Tidak boleh berpatokan pada ilmu falak atau ahli astronomi, karena illah atau sebab adanya hukum shalat tersebut adalah ketika menyaksikan gerhana secara langsung dengan mata telanjang. Sedangkan ilmu falak hanya sebagai alat bantu untuk mempermudah dalam proses menyaksikan gerhana. Wallahu a’lam bis shawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar